Adik perempuan saya yang berusia 10 tahun, Shakira, mulai mengeluh nyeri punggung setelah terpeleset di tangga yang basah di luar rumah kami di Morveant, Trinidad dan Tobago.
Kami berpikir dia hanya mengalami cedera otot dan memberinya obat penghilang rasa sakit. Nyeri yang dialaminya tidak kunjung hilang selama seminggu, sehingga kami membawanya ke rumah sakit. Dokter memberikan lebih banyak obat penghilang rasa sakit. Shakira berhenti makan, dan perutnya membengkak. Kembali ke rumah sakit, dokter berkata, "Menurut saya dia menderita kanker."
Meskipun menjalani beberapa operasi, Shakira tetap menjadi anak yang periang dan berusaha menjadi seorang yang paling ceria di kamar rumah sakit. Para dokter jatuh cinta padanya. Setelah setahun dia dinyatakan bebas dari kanker.
Beberapa bulan setelah dia kembali ke rumah, kankernya muncul kembali. Saya menghabiskan banyak malam bersamanya di rumah sakit. Saya mengingat saat dia mengerang kesakitan, "Punggungku, perutku, punggungku, perutku." Dia sangat kesakitan.
Dokter mengatur jadwal untuk melakukan operasi.
"Mami, aku tidak mau menjalani operasi ini," kata Shakira.
"Tetapi kita harus menjalaninya agar kamu bisa hidup," jawab Ibu.
Shakira meninggal sebulan setelah operasi itu. Saya sedang dalam perjalanan ke rumah sakit ketika ibu menelepon untuk menyampaikan kabar tersebut. Saya menangis.
Namun, ibu tidak menangis. "Mami, apakah ada yang salah?" Saya bertanya saat berada di pemakaman. "Mengapa mami tidak menangis?"
Dia tidak pernah menjawab.
Empat bulan kemudian, kaki ibu mulai membengkak. Dia dirawat selama dua minggu di rumah sakit, dan dokter mendiagnosis ibu mengalami depresi akibat kematian Shakira. Dokter menganjurkan untuk menjalani konseling, tetapi ibu tidak melakukannya. Enam bulan kemudian, dia meninggal.
Kehilangan ibu dengan waktu yang begitu cepat setelah kematian saudara perempuan saya membuat saya hancur. Keadaan menjadi lebih buruk lagi. Sepupu saya, Mark, sering mengunjungi saya, mencoba menghibur dan mengalihkan pikiran saya dari dua kematian yang tragis itu. Namun, enam bulan setelah ibu meninggal, dia juga meninggal karena kecelakaan mobil.
Rasa sakit yang ada dalam diri saya sepertinya terlalu berat untuk ditanggung. Pacar saya memiliki banyak tato di lengan, dada, punggung, dan mulutnya. Saya tahu membuat tato di badan itu menyakitkan secara fisik, tetapi saya memutuskan untuk membuat tato agar dapat meringankan rasa sakit yang ada dalam batin saya.
Hidung saya ditindik. Tetapi tidak terasa begitu sakit, sehingga saya menindik hidung lagi. Setelah itu, saya menindik telinga dan membuat tato di dada saya. Namun, rasa sakit itu terus ada.
Kemudian pacar saya tenggelam dalam kecelakaan renang. Saat saya menerima panggilan telepon, saya tidak percaya. Saya mengingat saudara perempuan, ibu, dan sepupu saya. Sekarang pacar saya meninggal. Saya mulai berteriak.
Saya menelepon tempat kerja untuk memberi tahu bahwa saya tidak dapat menghadiri acara perusahaan pada malam hari karena saya harus mengidentifikasi jasad pacar saya di rumah sakit. Pimpinan saya mengatakan untuk menunggu keponakannya, Marc.
"Dia akan mengantarkanmu," katanya.
Melihat jasad pacar saya seperti akhir hidup saya. Saya melihat tidak ada alasan lagi untuk hidup. Empat bulan kemudian, saya mengalami keguguran.
Hidup tampak gelap, tetapi Marc membawa sedikit cahaya dalam hidup saya. Dia mengunjungi saya setiap hari dan membagikan ayat-ayat Alkitab.
"Pernahkah kamu mendengar ayat dalam Yohanes 3:16?" dia bertanya. "Ayat itu berseru,'Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga la telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal"'
Suatu hari Marc mengajak saya bertemu orang tuanya. Ayahnya mendengarkan cerita hidup saya yang menyedihkan dan memberikan nomor teleponnya.
"Jika kamu membutuhkan seseorang untuk diajak bicara, hubungi saya," katanya. "Bersabarlah. Tuhan memiliki tujuan untukmu."
Setelah saat itu, Marc sering membawa saya ke tempat orang tuanya. Saya menyukai mereka, dan saya tertarik mendengar mereka berbicara tentang Tuhan. Suatu hari ketika kami sedang bercakap-cakap, saya bertanya apakah saya dapat pergi ke gereja bersama mereka.
"Ya!" seru orang tua.
Marc tidak mengatakan apa-apa.
Pada hari Sabat, saya pergi ke gereja dengan Marc dan orang tuanya.
Setelah kami beribadah Sabat demi Sabat, saya mulai merasa bahagia kembali. Khotbah-khotbah yang disampaikan sepertinya tepat untuk saya. Rasa sakit itu mereda.
Saya membaca Alkitab dan Pedoman Pendalaman Alkitab Sekolah Sabat Dewasa setiap hari, mencari jawaban tentang kehidupan.
Suatu hari Sabat, pendeta mengadakan panggilan kepada mereka yang ingin menyerahkan hati kepada Yesus melalui baptisan dan meminta untuk berdiri.
Saya segera berdiri. Saya tahu saya ingin hidup bagi Yesus. Marc juga berdiri.
Saya kemudian baru mengetahui bahwa Marc telah berhenti pergi ke gereja sejak lima tahun yang lalu dan baru saja kembali bergereja ketika saya bertanya untuk pergi saat itu.
Orang tua Marc sangat senang. Mereka tanpa henti mendoakan Marc agar kembali kepada Yesus.
Marc dan saya dibaptis pada hari yang sama dan menikah sebelas bulan kemudian.
Terkadang orang berkata kepada saya, "Kamu tidak mengerti apa yang saya sedang alami." Lalu mereka mendengar kisah hidup saya dan berkata, "Kamu mengalami semuanya itu? Bagaimana mungkin kamu masih bertahan hidup?"Saya menjawab, "Itu karena Tuhan." Dia telah memberikan saya hidup yang baru.
Persembahan Sabat Ketiga Belas triwulan ini akan membantu membuka sebuah "pusat pengaruh" Hidup yang Lebih Baik di Universitas Karibia Selatan di Trinidad dan Tobago untuk melatih para mahasiswa menjadi misionaris.
Posting Komentar