Sabat ke 1 
1 Oktober | Selandia Baru 
Oleh Christie

Christie dibesarkan dalam keluarga tanpa keyakinan agama di Asia. Sebagai seorang remaja, dia bertanya pada dirinya sendiri, “Apakah arti hidup?” Dia berpikir jika seseorang hanya memiliki satu kehidupan untuk dijalani, maka cara terbaik untuk hidup adalah makan, minum, dan bersenang-senang. Tetapi kehidupan seperti itu tampaknya tidak berarti baginya. 


Suatu musim panas, Christie mengambil kelas bahasa Inggris. Gurunya berasal dari Amerika Serikat dan bergelar doktor di bidang teologi. Di awal pelajaran pertama, dia memperkenalkan diri dengan membagikan keajaiban tentang bagaimana Tuhan menyelamatkan nyawanya dalam kecelakaan mobil. Mobilnya rusak parah dalam kecelakaan itu, tetapi dia merasa seperti tertutup oleh cangkir yang sangat besar, memungkinkan dia untuk keluar dari kecelakaan itu tanpa cedera. Christie terkesan dengan kisah mukjizat itu, dan dia membagikannya kepada orang tuanya segera setelah kelas selesai.


Satu dekade berlalu, dan Christie berpikir lagi tentang Tuhan ketika dia pergi ke Kanada untuk berlibur. Sebuah gereja terletak di dekat hotelnya di kota Vancouver. Dia melihat seorang pria berdiri di gerbang gereja, memegang papan bertuliskan, “Kembali ke rumah.” Kemudian pada hari itu, dia melewati gereja lagi dan melihat pria yang sama masih memegang papan bertuliskan, “Kembali ke rumah.” Angin bertiup kencang hari itu, dan dia bertanya-tanya mengapa pria itu berani melawan cuaca untuk memegang tanda itu. Bayangan pria yang memegang tanda itu tetap ada di benaknya selama berbulan-bulan sesudahnya. Dia memutuskan bahwa pasti ada sesuatu yang istimewa tentang kepercayaan Kristen.


Kembali ke rumah, Christie mendaftar di studi pascasarjana. Dia terkejut ketika seorang guru menghadiahi dia dan siswa lainnya dengan hadiah sebuah buku renungan. Dia terkesan dengan buku itu karena menjawab beberapa pertanyaannya tentang makna hidup. Dia menulis surel kepada guru untuk berterima kasih padanya, dan dia menunjukkan bahwa dia ingin tahu lebih banyak tentang Yesus. Guru itu memperkenalkannya kepada guru lain yang memimpin kelompok ibadah malam mingguan di rumahnya. Christie merasa dikasihi dan diterima oleh kelompok ibadat, dan dia mulai membaca Alkitab setiap hari. Setelah beberapa saat, dia memberikan hatinya kepada Tuhan.


Christie mengunjungi sejumlah gereja dan acara gereja, tetapi dia merasa ada yang tidak beres dengan hubungannya dengan Tuhan. 


Dua tahun berlalu, dan Christie kebetulan melihat Hope Channel di televisi selama perjalanan ke Selandia Baru. Kembali ke rumah, dia mencari secara online dan menemukan program Sekolah Sabat Harapan di YouTube. 




Dia mulai menonton Sekolah Sabat Harapan dan tidak bisa berhenti. Menonton Sekolah Sabat Harapan menjadi saat yang paling membahagiakan dalam harinya. Hanya dalam beberapa bulan, dia menonton Sekolah Sabat Harapan selama tiga tahun—semua episode daring yang tersedia pada saat itu. Para peserta kelas membuat Alkitab mudah untuk dia pahami, dan dia menyukai senyuman mereka.


Saat dia menonton, dia mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang Tuhan. Dia menyadari bahwa Tuhan penuh belas kasihan, bersemangat untuk memanggil orang kembali kepada-Nya untuk menyelamatkan mereka, dan selalu bersedia untuk mengampuni. Untuk pertama kalinya, dia merasa lengkap dalam hubungannya dengan Tuhan. Dia memutuskan untuk bergabung dengan Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh dan dibaptis dengan diselamkan.


“Terima kasih Tuhan telah membawa Sekolah Sabat Harapan ke dalam hidup saya untuk menumbuhkan kerohanian saya,” katanya. “Sekarang saya bersedia memberikan seluruh hidup saya kepada Yesus dan keinginan untuk menjalani kehidupan yang memuliakan Tuhan. Itulah arti hidup yang sebenarnya.”


Terima kasih atas Persembahan Sabat Ketiga Belas Anda di tahun 2016 yang membantu Hope Channel menjadi saluran siaran gratis yang menyelimuti Selandia Baru. Karena jangkauan Hope Channel yang luas, Christie dapat menontonnya ketika dia mengunjungi Selandia Baru selama beberapa hari di tahun 2016—tahun yang sama ketika liputan siaran gratis menyebar ke seluruh negeri. Persembahan Sabat Ketiga Belas Anda triwulan ini akan membantu membawa televisi Hope Channel dan Radio Hope FM ke Papua Nugini.


Oleh Andrew McChesney 


Pos Misi

  • Sejak tahun 1874, minat terhadap ajaran Advent telah dinyalakan pada individuindividu di Selandia Baru melalui publikasi yang dikirim dari teman atau kerabat di Amerika Serikat.
  • Pada bulan Oktober 1885, S.N. Haskell, seorang pendeta Advent Amerika, datang ke Auckland dari Australia dan menginap di asrama Edward Hare, yang, bersama istrinya, menjadi petobat pertama di Selandia Baru. Dalam waktu empat minggu sebuah kelompok kecil mulai merayakan Sabat hari ketujuh di Auckland.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama